Cerita Sebuah Ponsel
12:24 PM | Author: Ennie Sutarwanti
Setelah tiga hari, akhirnya aku keluar juga dari rumah kaca ini. Banyak sih yang naksir dan memimpikan diriku tapi sayang mereka tidak sanggup bayar. Orang yang akan memilikiku pasti bangga dengan kemolekan tubuh ini. Semua mencoba memijitku dengan cara halus maupun kasar. Decak kagum mereka benar-benar menyenangkan. Menjadikan diriku yang paling berkelas di masa ini.
***
“Apa ayahmu sudah kasih tau permintaanku?” tanya lelaki tua dengan nada angkuh.
“Sudah Pak. Ayah sudah kasih tahu saya. Ini ucapan terima kasih dari Ayah dan saya Pak, mohon diterima.” kata lelaki muda yang membeliku tadi sore. Dia menyerahkan diriku beserta amplop coklat yang tebal.
“Kalo kurang Bapak tinggal bilang lagi berapa jumlahnya, jangan sungkan-sungkan, akan saya usahakan.”
“Wah kok repot-repot sih, besok kan juga bisa, ndak perlu malam-malam begini.” balas si bapak tua.
“Kalo siang banyak lalat datang. Nanti dagingnya jadi rebutan lho Pak.”
“Bener juga kamu, baiklah aku lihat dulu semuanya.”
“Barangnya juga cantik lho Pak, keluaran terbaru. Belum ada yang punya. Silakan dicoba lho Pak.”
“Wah ada bonusnya juga ya.” Ujarnya setelah melirikku.
Tawa puas dari lelaki tua menggema keseluruh ruangan setelah dia mengintip isi amplop coklat dan mencoba diriku. Setelah mendengar sekilas pembicaraan mereka aku jadi kecewa berat. Ternyata diriku dijadikan sebagai salah satu alat suap. Lelaki muda tadi ternyata meminta agar tututan yang diajukan seringan mungkin. Kasus kepemilikan narkoba telah membelenggunya. Sedang lelaki tua yang memiliki aku sekarang tentunya seorang Jaksa Penuntut. Aku tidak suka akan gaya bicaranya, nada gembira yang penuh kelicikan. Benar-benar menyebalkan.
***


“Keren abis lho Ne, beli dimana new apa second?” tanya cewek imut yang lagi memegangku.
“New dong! Masa gue beli second, Ane gitu lhoh. ” jawab Ane pemilik keempat diriku.
“Fiturnya banyak banget, musiknya ok, wah aku jadi ingin beli tapi mimpi kali ye?”
“Lu mana punya duit buat beli gini. Gak level deh. Baru gue yang punya tipe ini.” ejek Ane pada si Imut.
“Lu pasti anak orang kaya. Enak bisa pakai keluaran terbaru,” sahut si Imut, “Gue aja minta ganti Hp gak dibeliin ama Bokap yang ada malah diomelin.”
“Bilang aja ama Bokap lu, kalo ndak dibeliin ndak mau sekolah.”
“Gue sih ndak berani Ne, dikasih Hp jadul bekas kakak gue aja udah seneng banget rasanya”
“Ah lu, anak sekarang kudu berani tawar menawar ama ortu, kalo mau anaknya pintar and gaul ya kasih fasilitas dong! ”
“Itu kan lu, boro-boro beliin Hp anaknya, beli minyak goreng aja gak mampu, untung gue masih disekolahin.”
Aku hanya tersenyum mendengar obrolan mereka. Ane bohong. Gengsi kali. Baru kasih DP aja, seratusribu, dua setengah persen dari harga jualku. Selebihnya dicicil. Baik hati banget yang punya counter. Maklumlah ada udang di balik batu, biar bisa deketain Ane yang cantik. Ku impikan kebahagian akan muncul setelah Pak Jaksa menyuruh asistennnya untuk menjualku gara-gara KPK sudah mulai mendapat laporan penyuapan, tapi kenyataan pemilikku sekarang sama menyebalkannya.
***
“ Dik, silakan dinikmati lho hidangannya.” kata Anti
“Gimana sih ceritanya kalian bisa saling kenal?” tanya Didik pada pasangan pengantin didepannya.
“Ini nih, gara-gara ini.”kata Anti sambil menunjukan diriku pada Didik.
“Gara-gara Hp?”
“Iya, baru saja membelinya dari counter, ada telepon masuk, salah sambung lagi. Tadinya aku cuekin Dik, tapi kemudian… ” cerita Anti tertahan karena melirik Mas Sono.
“ Karena aku terpesona sama suara cewek yang aku telepon tapi salah nomer itu, ya iseng-iseng aku telepon aja lagi. Eh, dia maki-maki terus Dik. Tapi lama-kelamaan dia mau tuh aku ajak kenalan, minta ketemuan lagi. Terus…auw sakit!” jerit Mas Sono sambil memegang bahu lengannya yang sudah dicubit Anti.
“O… jadi karena salah sambung nih.”
“Makanya Dik, kalo dapat telepon salah sambung dari cewek jangan langsung matiin Hp, ajak kenalan dulu, siapa tau jadi jodoh, seperti kami.” saran Mas Sono pada Didik.
Akhirnya diriku benar-benar menemukan pemilik yang baik. Aku sangat bermanfaatkan bagi mereka berdua. Terlebih saat Mas Sono dinas luar kota. Diriku selalu menampilkan wajah Mas Sono, tidak hanya suara saja. Kulitku yang silver selalu diberi selimut, tak ada goresan satupun. Sinar warna-warni juga menghiasi kepalaku kalo ada panggilan. Suasana menyenangkan ini bertahan selama sepuluh bulan hingga suatu peristiwa…
“Sudahlah Mas, jual saja Hp ini.”bisik Anti.
“Tapi Hp ini mempunyai kenangan tersendiri bagimu, dia yang mempertemukan kita” balas Mas Sono sambil mengusap-usap dahi isterinya.
“Anti tahu Mas, tapi calon anak kita lebih penting. Kalo caesar tabungan kita masih kurang Mas. Jual ya.” tetesan air mata Anti saat menyerahkan diriku ke Mas Sono membuatku merasa bangga sekaligus sedih. Bangga karena aku bisa ikut berperan dalam persalinan tapi sedih harus berpisah. Selamat berjuang Anti. Sayang aku tak bisa melihat si kecil.
***
“Halo-halo! Yang keras Pak!” teriak pemilik baruku,”Halo! Aku di bis! Ndak denger! Nanti ngebel lagi ya!”
“Siapa sih mbak?” tanya temannya.
“Suamiku mbak Tar.” jawabnya, “Suaranya putus-putus, tak suruh ngebel nanti aja,”
“Hp lama dijual to mbak?”
“Iya, sudah ketinggalan jaman. Yang ini ada kameranya, radio FM, bisa muncul orang yang ngebel kita.”
“3G maksudnya mbak?” tanya mbak Tar memperjelas.
“Ya itu apa em…tri…ji.” jawab pemilikku sambil malu-malu mengucapkan kata 3G, takut salah.
Sudah ndeso masih pamer itulah kesan pertama pada pemilikku. Aku belum tahu siapa namanya, baru kemarin malam dia beli aku. Suara suaminya tidak bisa kutangkap dengan baik. Kondisiku sejauh ini sehat. Lokasi juga di tengah kota. Jangan-jangan karena pakai kartu termurah, service ikut murahan.
Tiba-tiba ada tangan besar, putih, dan halus memegangku erat. Dalam hitungan detik aku sudah pindah ke dalam ransel yang digendong depan dada. Aku di-off secara kasar. Dengan jari-jari yang bergerak cepat chip yang melekat dalam tubuku sudah terlepas dan jatuh ke lantai bis. Risleting tas tertutup tanpa bunyi. Aku tak dapat melihat cahaya lagi. Perasaan tidak enak menyelimuti diriku. Aku belum bisa melihat muka orang ini dengan jelas.
“Karangjati! Karangjati!” teriakan kondektur terdengar nyaring.
“Pasar kiri mas.”
“Pasar kiri!”
Aku di pasar Karangjati rupanya. Badanku terguncang-guncang, mungkin dia jalan cepat atau lari. Tiba-tiba berhenti. Kegelapan telah sirna. Tangannya mengeluarkanku dari ransel. Ternyata bukan hanya tangannya yang cakep, wajah dan dandanannya juga, tapi sayang ada satu yang aku tidak setuju, kelakuannya.
“Mas mau jual batangan bagus, dikasih berapa nih?” tanya pemuda cakep ini pada pemilik counter.
“Sorry mas, kita ndak terima batangan.”
“Bagus kok mas barangnya, masih mulus, lagi butuh duit nih mas, buat bayar kuliah, masa ndak bisa mas.” bujuknya sambil menyodorkanku,”lihat dulu aja mas, siapa tahu cocok, setengah harga boleh deh.”
Penjaga counter tak menanggapi. Hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
“Dijual berapa tuh mas?” tanya lelaki disebelah pemuda cakep.
“Bapak nawar aja berapa nanti kalo klik saya lepasin deh. Nih liat aja dulu Pak” pemuda cakep menyerahkan diriku untuk dinilai.
“Wah saya ndak berani nawar, pingin tahu aja, saya kesini hanya punya limaratus buat beliin orang rumah.”
“Klik deh Pak, soalnya saya lagi butuh duit cepat. Kalo ndak ada duit besok ndak bisa ujian Pak”
“Bener nih Dik, wah rejeki aku nih!” seru lelaki calon pemilik baru kegirangan. Dengan segera uang limaratus ribu dan diriku saling berpindah tangan. Pemuda cakep segera bergegas meninggalkan counter.
“Maaf ya Mas Suta, ndak jadi beli Hp situ. Habis ada barang murah sih, sekalian nolong .”
“Nolong gimana to Lik Nanto, bantu memperlancar kejahatan lha itu bener”
“Apa kamu bilang?” tanya Lik Nanto dengan nada tinggi.
“Lho jelas banget tuh Lik!” seru Mas Suta,”Barang ini harga second tiga setengah juta, dia jual hanya lima ratus ribu. Batangan lagi.”
“Aku sengaja ndak mau beli bukan karena ndak punya modal cari dagangan tapi takut Lik.”
“Bisa ditangkap polisi ya?”
“Betul itu, tapi kebanyakan orang yang kehilangan males mau lapor ke polisi karena harus menyerahkan beberapa data dari Hp itu sendiri, jadi dibiarkan aja. Yang aku tidak tenang bukan polisinya Lik. Tapi ama yang di atas. Kalo aku jual barang haram bisa-bisa daganganku tidak membawa berkah. Bisa saja aku bangkrut atau kena masalah lain”
Lik Nanto jadi terdiam memikirkan omongan Mas Suta. Perasaan takut mulai terpancar dari wajahnya tapi apa boleh buat semuanya sudah terjadi. Tangannya yang berkeringat mulai terasa di kulitku.
“Tapi tadi aku ndak tahu kalo ini barang haram lho, Mas, jadi tetep halal ya.” Kata Lik Nanto mencari dukungan pembenaran,”Kok Mas Suta tadi tidak kasih tau aku, kalo tau haram kan aku ndak jadi beli mas.”
“Lik Nanto sudah aku kasih kode mata tapi ndak tanggap.”
“Aku kira matamu masih gatal gara-gara belekan kemarin. Kamu kan bisa langsung ngomong aja.”
“Mana berani Lik, kalo aku ngomong terus dia ngancam aku pakai pisau atau pistol gimana?” Mas Suta bergidik.
***

|
This entry was posted on 12:24 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: